Sultan Aceh

Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.

SEJUMLAH orang bersila di bawah tenda kecil dalam komplek Gedung Perjuangan, Banda Aceh. Mereka antusias mendengarkan testimoni sejarah yang dipaparkan sejarawan tentang Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (1884-1903).

Sebuah tenda terpampang lengkap dengan foto sang sultan di belakang pembicara, bertulis “Peringatan haul, mengenang 77 tahun Sultan Alaidin Muhammad Dawood Syah, sultan terakhir penjaga kedaulatan KerajaanAceh”.

Beginilah suasana mengenang 77 tahun mangkatnya sultan Aceh terakhir digelar komunitas pegiat budaya dan sejarah Aceh, pada Sabtu akhir pekan lalu. Ikut dalam acara ini sejarawan, seniman, pemerhati adat, budaya, jurnalis dan beberapa cucu serta cicit keturunan sultan Aceh.

Koordinator acara, Djamal Sjarief mengatakan, kegiatan ini untuk mengenalkan kembali sosok sultan Aceh kepada masyarakat terutama generasi muda, serta membangkitkan identitas ke-Aceh-an.

Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, kata dia, berjasa besar dalam mempertahankan kedaulatan Aceh. Pemimpin ke-35 Kerajaan Aceh Darussalam ini tak pernah melepaskan kekuasaannya kepada Belanda, sekalipun dia dan keluarganya ditawan dan dibuang keluar Aceh.

“Makanya kita mengajak generasi muda mengenal sosok beliau, dan kita berharap Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah diakui sebagai pahlawan nasional karena jasanya sangat besar terhadap Aceh dan berdirinya Indonesia,” ujar Djamal.

Salah satu jasa Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah adalah tak menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Belanda, sehingga satu-satunya wilayah nusantara yang tak pernah takluk ke Belanda adalah Aceh.

Dalam Konferensi Meja Bundar di Den Hag Belanda tahun 1949, Inggris menanyakan mana kawasan yang diklaim Indonesia yang masih bebas dari penaklukan Belanda? Tersebutlah Aceh. “Semua peserta konferensi setuju dan mengakui Indonesia menjadi sebuah negara merdeka,” katanya.

Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah mangkat dalam tawanan Belanda, pada 6 Februari 1939 di Batavia (Jakarta), dan dimakamkan di TPU Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta. Dia merupakan putra Tuanku Cut Zainal Abidin, atau cucu Sultan Alaidin Mansursyah (1857-1870), pemimpin ke-33 Kerajaan Aceh Darussalam.

Sejarawan Aceh, Ramli A Dally mengatakan, Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah merupakan sultan Aceh yang paling berat menghadapi cobaan, karena saat kepemimpinannya Aceh berada dalam kondisi darurat akibat invansi Belanda.

“65 tahun berjuang sejak dalam hutan rimba bergerilya, lima tahun ditawan, 32 tahun dibuang keluar negaranya (Aceh) tanpa pernah menyerahkan sedikitpun negerinya kepada musuh,” kata Ramli.

Menurutnya, satu per satu kerajaan di nusantara takluk ke Belanda, tapi Aceh tak pernah menyerahkan kedaulatannya sejak maklumat perang Belanda terhadap Aceh dikeluarkan pada 1873. “VoC telah merampas 430 kerajaan kecil-kecil di nusantara selama 200 tahun,” sebutnya.

Kerajaan Aceh Darussalam berdiri setelah takluknya Kerajaan Samudera Pasai, sejak abad 15 Masehi. Pemimpin pertama adalah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530). Puncak kejayaannya berada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Wilayah kekuasaannya dari Sumatera hingga daratan Malaysia. Aceh, kala itu, masuk dalam lima besar kerajaan Islam terkuat di dunia, bersama Kesultanan Ottoman Turki, Kesultanan Syafawiyah di Persia, dan Kesultanan Moghul di India.

Menurut riwayat, Muhammad Daud Syah diangkat menjadi Sultan Aceh ke-35, pada usia 7 tahun. Ia menggantikan Sultan Alaidin Mahmud Syah yang mangkat karena terkena wabah penyakit kolera, pada 28 Januari 1874.

Saat itu Aceh sedang bergejolak, menghadapi invansi Belanda yang sudah berhasil menguasai Darul Dunia, Istana Kerajaan Aceh di Banda Aceh. Karena istana sudah diduduki Belanda, pusat pemerintahan Kerajaan Aceh pindah ke Indrapuri, Aceh Besar.

Tuanku Muhammad Daud Syah kemudian dikukuhkan sebagai Sultan Aceh dalam sebuah upacara kerajaan di Masjid Indrapuri, Aceh Besar, oleh Dewan Mangkubumi kerajaan yang dipimpin walinya sendiri, Tuanku Hasyim Banta Muda.

Karena usianya belum akil baliq, sultan tak langsung diberi kewenangan memerintah. Dia diwajibkan dididik dulu menguasai ilmu perang dan pemerintahan. Urusan pemerintahan dikendali dewan kesultanan.

Kabinet teras kerajaan saat itu di antaranya Teungku Chik di Tiro sebagai Menteri Perang (Warizul Harb), Teuku Umar selaku Laksamana (Warizul Bahri) dan Nyak Makam ditunjuk selaku panglima urusan Aceh bagian Timur.

Setelah benteng Montasik (Aceh Besar) dikuasai Belanda tahun 1878, pusat pemerintahan Kerajaan Aceh kemudian dipindah lagi dari Indrapuri ke Keumala, Pidie. Ibu kota kerajaan 20 tahun bertahan di sana. Sultan Alaidin Mahmud Syah yang sudah beranjak muda, mulai mengatur pemerintahan di sana.

Pasukan kerajaan Aceh terus memberi perlawanan kepada Belanda di berbagai wilayah. Hingga akhirnya Belanda menculik dua permaisuri sultan dan seorang putra mahkotanya, Tuanku Raja Ibarahim kemudian menawannya. Tak-tik ini dilakukan Belanda untuk memaksa sultan menyerah.

Van Der Maaten, pemimpin pasukan Belanda, kemudian mengirim surat kepada Sultan Muhammad Daud Syah untuk mengajaknya bermusyawarah di Sigli, Pidie, Januari 1903. Sultan menuruti. Celakanya, sultan yang datang dengan beberapa pengawal langsung ditahan. Sultan dibujuk untuk menandatangani surat penyerahan kekuasaan kepada Belanda, tapi ia menolaknya.

“Beliau merobek surat tersebut,” tulis Tim Alis Aceh dalam bukunya berjudul “Sejarah Singkat Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat”.

Sultan dibawa ke Kutaraja (Banda Aceh), ditawan di sebuah rumah kawasan Keudah. Di balik rumah tawanan, sultan mengatur strategi penyerangan terhadap markas-markas Belanda di Banda Aceh. Dia juga mengirim surat kepada meminta bantuan Kaisar Jepang, mengusir Belanda dari Aceh. Surat dikirim melalui perwakilan Jepang di Singapura.

Aksi sultan akhirnya tercium Belanda. Dia pun diasingkan ke Ambon, Maluku. Namun di Ambon dia malah dianggap sebagai tamu kehormatan dari Aceh, dan ikut mendakwahkan Islam di sana. Beberapa keluarga Raja Samu-Samu malah berhasil diajak masuk Islam.

Belanda yang kesal akhirnya mengasingkan lagi Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah ke Batavia, dan ditawan di sebuah rumah di sana. Dia ngotot, tak mau menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Kerajaan Belanda hingga menghembuskan nafas terakhir dalam tawanan.

return CMS_Setting('judul')

return CMS_Setting('tagline')

TELAH wafatlah Teungku Putroe Safiatuddin Cahya Nur Alam binti Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Muhammad Daodsyah, pada 21 Ramadhan 1439/6 Juni 2018, pukul 06.45 WITA di RS Kota Mataram, NTB. Cahya Nur Alam dimakamkan di kompleks Baperis, Banda Aceh, Aceh sekitar pukul 22.40 WIB, Rabu (6/6/2018).

Wafatnya Cahya Nur Alam mengingatkan kita kembali pada kakeknya, Sultan Alaidin Muhammad Daodsyah. Berikut kami kutip penuh yang diberitakan okezone.com beberapa waktu lalu.

Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (1884–1939) memiliki andil dalam berdirinya Republik Indonesia. Ia mati-matian mempertahankan wilayah kekuasaannya agar tak jatuh ke tangan Belanda. Namun, jasanya kini nyaris terlupakan.

Muhammad Daud Syah merupakan Sultan Aceh terakhir yang berdaulat. Ia memimpin Kerajaan Aceh Darussalam saat perang berkecamuk. Sebagian besar usianya habis dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan Aceh. Meski tubuhnya ditawan, ia tak pernah mau melepaskan tanah airnya ke penjajah.

Guna mengenang sosok Sultan Muhammad Daud Syah dan jasanya, sejumlah komunitas peduli sejarah Aceh dalam beberapa tahun terakhir rutin menggelar acara haul atau mengenang hari mangkat Sultan di kompleks makam raja-raja Aceh di Banda Aceh.

Pamong budaya Komunitas Peubeudoh Sejarah, Adat, dan Budaya Aceh (Peusaba) Djamal Syarief mengatakan aksi itu dilakukan pihaknya secara sukarela untuk mengajak masyarakat terutama generasi muda mengenal sosok dan perjuangan Sultan.

“Kita berharap Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah diakui sebagai pahlawan nasional karena jasanya sangat besar terhadap Aceh dan berdirinya Indonesia,” ujar Djamal, beberapa waktu lalu.

Salah satu jasa Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah adalah tak menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Belanda, sehingga satu-satunya wilayah Nusantara yang tak pernah takluk ke Belanda saat itu adalah Aceh.

Dalam Konferensi Meja Bundar di Den Hag, Belanda, pada 1949, Inggris menanyakan mana kawasan yang diklaim Indonesia yang masih bebas dari penaklukan Belanda? Tersebutlah Aceh.

“Semua peserta konferensi setuju dan mengakui Indonesia menjadi sebuah negara merdeka,” kata Djamal.

Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah merupakan putra Tuanku Cut Zainal Abidin. Ia cucu dari Sultan Alaidin Mansur Syah (1857–1870), raja ke-33 yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam.

Sejarawan Aceh, Ramli A Dally (meninggal dunia pada Selasa 22 Mei 2018), mengatakan Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah merupakan Sultan Aceh yang paling berat menghadapi cobaan. Sebab saat kepemimpinannya, Aceh berada dalam kondisi darurat akibat invansi Belanda.

“(Selama) 65 tahun berjuang sejak dalam hutan rimba bergerilya, lima tahun ditawan, 32 tahun dibuang keluar negaranya (Aceh) tanpa pernah menyerahkan sedikit pun negerinya kepada musuh,” kata Ramli, semasa hidupnya.

Ia mengatakan, satu per satu kerajaan di Nusantara takluk ke Belanda selama 200 tahun mereka menguasai Hindia Belanda. Tapi, Kerajaan Aceh tak pernah menyerahkan kedaulatannya sejak Belanda mengeluarkan maklumat perangnya terhadap Aceh pada 1873.

“VOC telah merampas 430 kerajaan kecil-kecil di Nusantara selama 200 tahun,” tutur Ramli, semasa hidupnya.

Kerajaan Aceh Darussalam berdiri setelah takluknya Kerajaan Samudera Pasai sejak abad 15 Masehi. Pemimpin pertama Kerajaan Aceh Darussalam adalah Sultan Ali Mughayat Syah (1514–1530). Puncak kejayaannya berada pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607–1636).

Wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam mulai dari Sumatera hingga semenanjung Malaysia. Aceh, kala itu, masuk dalam lima besar kerajaan Islam terkuat di dunia, bersama Kesultanan Ottoman Turki, Kesultanan Syafawiyah di Persia, dan Kesultanan Moghul di India.

Kerajaan Aceh Darussalam juga pernah empat kali dipimpin oleh sultanah atau raja perempuan.

Saat Tuanku Muhammad Daud Syah masih bocah, Kerajaan Aceh Darussalam dalam kondisi genting akibat perang. Ia diangkat menjadi sultan ke-35 Aceh pada usia 7 tahun, menggantikan Sultan Alaidin Mahmud Syah yang mangkat karena terkena wabah penyakit kolera, pada 28 Januari 1874.

Saat itu Aceh sedang bergejolak menghadapi invansi Belanda yang sudah berhasil merebut Darul Dunia, Istana Kerajaan Aceh Darussalam yang berpusat di Banda Aceh. Dikarenakan istana sudah diduduki Belanda, pusat pemerintahan Kerajaan Aceh pindah ke Indrapuri, Aceh Besar.

Tuanku Muhammad Daud Syah kemudian dikukuhkan sebagai Sultan Aceh dalam sebuah upacara kerajaan di Masjid Indrapuri, Aceh Besar, oleh Dewan Mangkubumi Kerajaan yang dipimpin walinya sendiri, Tuanku Hasyim Banta Muda. Usai dilantik, ia menyandang gelar Sultan Alaidin.

Karena usianya belum akil baliq, sultan tak langsung diberi kewenangan memerintah. Dia diwajibkan dididik dulu menguasai ilmu perang dan pemerintahan. Urusan pemerintahan dan negara dikendali Dewan Kesultanan.

Kabinet teras Kerajaan Aceh Darussalam saat itu di antaranya Teungku Chik di Tiro sebagai Menteri Perang (Warizul Harb); Teuku Umar selaku Laksamana (Warizul Bahri); dan Nyak Makam ditunjuk selaku panglima urusan Aceh bagian timur.

Perang masih terjadi di mana-mana. Pasukan Aceh tiada henti menyerang serdadu Belanda. Lewat pertempuran sengit di Montasik, Aceh Besar pada 1878, Belanda akhirnya menguasai benteng Montasik.

Karena lokasinya mulai dekat dengan konsentrasi musuh, dewan kesultanan akhirnya memutuskan agar pusat pemerintahan Kerajaan Aceh dipindah lagi dari Indrapuri ke Keumala, Pidie.

Selama 20 tahun, Keumala menjadi Ibu Kota Kerajaan Aceh. Sultan Alaidin Mahmud Syah yang sudah beranjak muda saat itu, mulai mengatur pemerintahan dan negara di Keumala.

Pasukan kerajaan Aceh terus memberi perlawanan kepada Belanda di berbagai wilayah. Karena tak mampu mengalahkan tentara Aceh, serdadu Belanda akhirnya menculik dua permaisuri sultan dan seorang putra mahkota, Tuanku Raja Ibarahim. Mereka disandera. Strategi itu dilakukan Belanda untuk memaksa Sultan Muhammad Daud Syah menyerah.

Saat ratu dan putra mahkota ditawan, pemimpin pasukan Belanda, Van Der Maaten, kemudian mengirim surat kepada Sultan Muhammad Daud Syah, untuk mengajaknya bermusyawarah di Sigli, Pidie, pada Januari 1903.

Sultan akhirnya menuruti ajakan musyawarah itu. Ia pun datang dengan beberapa pengawalnya. Celakanya, begitu sampai di tempat yang dituju, sultan dan pengawalnya langsung ditahan pasukan Belanda.

Sultan Muhammad Daud Syah dibujuk untuk menandatangani surat penyerahan kekuasaan Aceh kepada Belanda, tapi ia langsung menolaknya.

“Beliau merobek surat tersebut,” tulis Tim Alis Aceh dalam bukunya berjudul “Sejarah Singkat Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat”.

Sultan Muhammad Daud Syah lalu dibawa ke Kutaraja (Banda Aceh sekarang) dan ditawan di sebuah rumah di kawasan Keudah. Di balik rumah tawanan itu, sultan masih mengatur strategi penyerangan terhadap markas-markas Belanda di Banda Aceh.

Sultan juga mengirim surat kepada Kaisar Jepang, meminta agar membantu pasukannya mengusir Belanda dari Aceh. Surat itu dikirim melalui perwakilan Jepang di Singapura.

Aksi sultan akhirnya tercium pihak Belanda. Van Heutz, pemimpin Belanda saat itu berang dan memutuskan mengasingkan Sultan Muhammad Daud Syah ke Maluku. Alih-alih sebagai tawanan perang, Sultan Muhammad Daud Syah malah disambut warga hangat di Ambon.

Menurut sejarawan Aceh, Abdurrahman Kaoy, saat diasingkan ke Maluku, Sultan Muhammad Daud Syah dianggap sebagai tamu kehormatan oleh Raja Samu-Samu yang berkuasa di sana. “Sultan kemudian mendakwahkan Islam, membawa syiar Islam di sana,” ujarnya.

Karena jatuh cinta dengan Islam dan tersentuh dengan merdunya bacaan Alquran Sultan Muhammad Daud Syah, kata Abdurrahman, maka beberapa keluarga Raja Samu-Samu kemudian bersedia masuk Islam.

“Belanda makin marah, akhirnya Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat diasingkan lagi ke Batavia (Jakarta sekarang),” tutur Abdurrahman Kaoy.

Saat ditawan di Batavia, kata dia, Pemerintah Belanda berulang kali meminta agar Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah menyerahkan kekuasaan Aceh secara resmi kepada Belanda. Tapi, Sultan tetap pada pendiriannya; menolak Aceh dikuasai Belanda.

Ia hanya menyerahkan tubuhnya ke Belanda, tapi tidak membiarkan harga diri dan kedaulatan negaranya takluk ke musuh. Sikap itu dipertahankan Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah sampai ajal menjemputnya pada 6 Februari 1939. Ia mangkat dalam tawanan Belanda di Batavia dan dimakamkan di TPU Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta Timur.

Pusaranya kini kerap tak terurus. Tak ada juga gelar pahlawan nasional untuk Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah.[]Sumber:okezone

Editor: THAYEB LOH ANGEN

Aceh Sultanate founder

High SchoolArts & HumanitiesHistory

The question assesses knowledge of the founder of the Aceh Sultanate and their role in establishing the sultanate's power and influence.

Sultan Aceh terakhir, Sultan 'Alaidin Muhammad Daud Syah, tahun 1904 dibuang Belanda ke Jakarta. Sultan terakhir ini punya seorang anak sulung, calon Putera Mahkota Kerajaan Aceh Raya, Tuanku Raja Ibrahim.

Salah satu anggota kerajaan yang masih hidup dan berdomisili di Banda Aceh adalah Tuanku Raja Yusuf dan pernah diundang khusus oleh Mahathir Muhammad (Mantan Perdana Menteri Malaysia).

Ditengah gemerlap pembangunan bumi Serambi Mekah dan Trilyunan Uang yang dikucurkan pemerintah pusat Jakarta baik dari dari dana alokasi umum, dana alokasi khusus juga dana bagi hasil, demikian juga pemerintah Propinsi Aceh yang sibuk mengalokasikan dana yang tidak kunjung bisa dihabiskan setiap akhir tahun Anggaran serta kesibukan anggota dewan membahas qanun ini dan itu tetapi….ada persoalan sejarah yang masih dimarginal baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah Aceh yang juga bangsa Aceh.

Belum ada satupun dari lembaga pemerintah baik yudikatif maupun legislatif yang membicara pahit getirnya hidup keturunan Sultan Aceh yang terakhir, sangat miris dan sungguh memilukan hati.

Saat ini keturunan Tuanku Raja Ibrahim hampir tidak bisa hidup layak dan beberapa hidup dibawah garis kemiskinan bahkan memenuhi kebutuhan yang mendasar untuk sehari-hari saja sangat sulit, padahal dulu orang tua mereka berjuang demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat aceh serta hidup diluar istana demi bangsa Aceh.

Beginikah Bangsa Aceh sekarang?

Dengan mudah membunuh sejarah, tidak menghargai apa itu sejarah….., kenapa di daerah lain seperti Jogyakarta mereka bisa menghargai keraton bahkan kesultanan masih eksis sampai sekarang dan didanai oleh pemerintah untuk segala sesuatu keperluan dan biaya operasional kesultanan.

Jika kita melihat lebih jauh kita bisa melihat Negara tetangga kita Malaysia, Brunei dan juga lebih jauh lagi Inggris dengan Ratu Elizabetnya mereka lebih maju dan menghargai sejarah dengan mempertahankan kerajaan yang ada dan terus didukung dengan dana.

Begini gambaran hidup beberapa anak Tuanku Raja Ibrahim atau cucu Sultan Muhammad Daud Syah :

1. Tengku Putri Safiatuddin (alm)

Beliau adalah Putri sulung yang banyak tahu tentang sejarah Tuanku Raja Ibrahim, kini berstatus seorang Janda yang tinggal dirumah panggung kayu bekas yang lapuk bongkaran rumah orang lain, ketika tsunami rumah tersebut miring dan hampir roboh.

Jika hujan perkarangan rumahnya banjir dan tergenang air, sangat sangat tidak layak, karena tidak ada perhatian dari pihak – pihak yang mendata untuk pembangunan rumah bantuan tsunami mau tidak mau dia tetap tinggal dirumah tersebut dengan beberapa cucunya, tetapi karena sakit-sakitan dan kondisi rumah yang tidak layak akhirnya seorang anaknya mengajak tinggal bersamanya untuk sementara waktu menunggu beliau sehat kembali.

Saat ini beliau hidup dari belas kasihan keluarga dan sedikit bantuan anak-anaknya.

2. Teungku Putri Kasmi Nur Alam,

Berstatus Janda dan telah meninggal beberapa tahun lalu dan selama hidup tidak pernah mempunyai rumah dan hidup bersama dirumah menantunya.

Beliau orang yang sangat setia dan sangat mudah kasihan kepada orang lain meskipun uang tidak cukup untuk diri sendiri tetapi jika ada orang kesusahan minta tolong pasti dibantu uang dan tenaga (mungkin ini menurun dari prilaku Sultan).

Jadi meskipun hidup bersama anaknya beliau selalu bisa mandiri untuk memenuhi kebutuhannya seperti ketika ada orang minta tolong memijat dan perawatan lain khusus wanita, beliau mendapat ucapan terima kasih berupa uang dan yang lain tanpa pernah meminta dengan tarif tertentu.

3. Tuanku Raja Zainal Abidin, …..?

4. Tengku Putri Rangganis, -

Berstatus sebagai janda sekarang menetap di Tangse, kehidupan sehari-hari sebagai petani dan bantuan biaya dari anak-anaknya.

5. Tuanku Raja Ramaluddin,

Telah meninggal beberapa hari setelah tsunami, almarhum bekerja sebagai anggota TNI bagian medis dengan pangkat terakhir sersan. Perbuatan terpuji beliau yang terakhir karena mengerti dengan masalah medis dengan segala kemampuannya merawat orang-orang bangsa Aceh dalam keadaan luka saat tsunami disekitar beliau, tetapi yang sangat mengharukan adalah beliau langsung meninggal setelah merawat korban tsunami, karena kelelahan berhubung usia juga yang sudah lanjut.

6. Tengku Putri Sariawar,

Berstatus sebagai janda sekarang beliau hidup dari membantu anaknya disebuah TK di Banda Aceh

7. Tuanku Raja Mansur,

Beliau meninggal sebelum Tsunami, dialah yang banyak mewarisi sifat Sultan Aceh terakhir seperti beliau dengan susah payah mendirikan yayasan Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah di Kampung Jawa untuk kegiatan pengajian anak-anak yatim disekitar situ dan memperjuangkan dana untuk renovasi rumah putih adat Aceh peninggalan keluarga Sultan yang akhirnya direnovasi oleh pemerintah atas bantuan Wakil Gubenur pada saat itu yaitu Bapak Azwar Abu Bakar.

Pada masa konflik karena sifat bijaksananya beliau selalu melakukan mediasi antara GAM dan TNI POLRI dan pemerintah secara informal.

Beliau juga sering diajak pemerintah untuk berbicara sosialisasi tentang program pemerintah di desa-desa, serta seorang yang selalu melakukan silaturahmi antara setiap rumah keluarga besar Sultan Aceh.

8. Tuanku Raja Djohan,

Telah meninggal baru-baru ini tepatnya pada tanggal 27 Januari 2010 dengan tragis karena ditabrak oleh dump truck Hercules yang membawa material proyek daerah lameu ketika baru pulang dari berobat dipukesmas.

Almarhum adalah seorang yang tuna rungu karena sesuatu hal pada masa kecil tapi kelebihannya dapat membaca dan sangat disegani dikampungnya yaitu kampung langga Aceh Pidie.

Kehidupan sehari-hari beliau dalam memenuhi kebutuhan hidupnya adalah dengan bertani dan memberi doa/rajah untuk obat padi, masyarakat desa masih yakin bahwa beliau punya kelebihan sebagai Keturunan Tuanku.

Sampai hari ini belum ada perhatian dari pemda untuk sekedar melayat keturunan Sultan Aceh yang meninggal dengan tragis, beliau meninggalkan seorang istri dan 2 anak perempuan.

9. Tuanku Raja Iskandar, - ……..?

10. Tengku Putri Sukmawati, -

Berstatus sebagai seorang Janda yang hanya mengandalkan pensiun dari almarhum suaminya yang tidak seberapa dan harus berusaha menghidupi serta menyekolahkan keempat anaknya.

Kehidupan beliau sepeninggal suami sangat sulit, tetapi beliau juga mewarisi sifat dari keturunan sultan yaitu tidak pernah terlihat sedih dan selalu ramah pada setiap orang, sehingga walau susah setiap orang yang datang kerumah selalu diberi minum kopi dan makan dengan tidak memandang kasta, karena keramahan beliau orang-orang yang datang baik itu tuna runggu, tidak waras tapi ajaib yang tidak waras tersebut bisa waras dirumahnya.

Rezeki yang datang kepada beliau juga tidak terduga dari orang-orang sekitar dan yang datang, sehingga dalam keadaan kesusahan ada saja yang datang membantu.

11. Tuanku Raja Syamsuddin,

Kehidupannya sangat memprihatinkan, sekarang tinggal dengan istri beliau di Lhokseumawe untk memenuhi kehidupan sehari-hari beliau adalah dengan bertani dan membawa becak dayung dan tidak mempunyai rumah sendiri.

Tubuh beliau terlihat kurus karena bekerja sangat keras dan sering sakit-sakitan dan saat beliau sakit istrinya kesana kemari berusaha memenuhi kebutuhan hidup mereka tapi mereka tidak pernah menyerah dan mengemis kepada orang lain maupun pemerintah.

12. Tuanku Raja Muhammad Daud,

Beliau juga tinggal di Lhokseumawe kehidupan beliau juga sangat sulit dan pedih, untuk kehidupan sehari hanya mengandalkan dari hasil narik becak mesin dan langganan bulanan untuk mengantar jemput anak-anak tetangga ke sekolah tetapi beliau tidak mau mengeluh meskipun beliau cucu dari Sultan Aceh.

13. Tuanku Raja Yusuf,

Beliau satu-satunya anggota keluarga sultan yang lumayan mapan karena berstus sebagai pegawai negeri.

14. Tuanku Raja Sulaiman,

Beliau tinggal di lampoh ranup Lamlo Aceh Pidie, untuk kehidupan sehari beliau berjualan minyak bensin dan oli, dengan semangat pantang menyerah beliau dengan usaha tersebut mampu menghidupi anak dan istrinya.

15. Teungku Putri Gambar Gading,

Baru saja berstatus sebagai seorang janda tapi beliau sudah menjadi pegawai negeri mengikuti jejak abangnya Twk. Raja Yusuf meskipun susah payah dengan segala keterbatasan untuk mendapat gelar sarjana dulu.

16. Tuanku Raja Ishak Badruzzaman.

Beliau juga tinggal di lampoh ranup Lamlo Aceh Pidie karena keterbatasan dana saat menjadi mahasiswa beliau akhir meninggalkan bangku universitas dan pergi mengaji di pasantren.

Saat di pesantren beliau mendapat banyak ilmu agama dan juga ketrampilan, salah satunya adalah dibidang perabotan, akhirnya bidang tersebut menjadi dasar pekerjaan beliau sehingga sekarang punya tempat pembuatan perabot di Lamlo.

Ini sekelumit kisah pilu para keturunan Kesultanan Aceh Terakhir yang dilupakan jaman dan bangsa Aceh sendiri. Sangat disayangkan keturunan Tuanku Raja Ibrahim tidak pernah dilibatkan dan kegiatan sosial budaya dan adat istiadat Aceh masa kini, juga dilembaga-lembaga seperti MAA (Majelis Adat Aceh) atau Lembaga Wali Nanggroe yang akan dibentuk nantinya.

Padahal kisah dan Adat Istiadat Aceh masih bisa diketahui dari keturunan Sultan Aceh terakhir ini dan akan menjadi asset parawisata bagi pemda di jika pemerintah Aceh bisa menghargai mereka dan membuat suatu tempat atau wadah bagi keluarga Sultan ini.

Sumber : https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=464943907637522&id=428161141315799

Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!

BNADA ACEH - Ahli waris Kesultanan Aceh Sultanah Teungku Putroe Sulthanah Safiatuddin Cahya Nur Alam dimakamkan di kompleks Baperis, satu kompleks dengan pemakaman Sultan Iskandar Muda. Cucu Sultan Aceh terakhir ini wafat pada usia 84 tahun di rumah sakit di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Pantauan detikcom, jenazah Sultanah Putroe tiba di kompleks Baperis, Banda Aceh, Aceh sekitar pukul 22.40 WIB, Rabu (6/6/2018). Sebelum dibawa ke tempat pemakaman, jenazah terlebih dulu disalatkan di Masjid Baiturrahman dan meuligoe Gubernur Aceh. Dari pendapa, jenazah dibawa keluarga dengan berjalan kaki. Lokasi pendapa dengan Baperis memang tidak jauh. Saat tiba di lokasi pemakaman, jenazah dibawa dengan dipayungi kain kuning yang terbentang panjang hingga ke liang lahat.

Proses pemakaman dihadiri Gubernur Aceh, Wakapolda Aceh Brigjen Yanto Tarah, dan Kasdam Iskandar Muda Brigjen TNI Achmad Daniel Chardin. Keluarga Sultanah Putroe terlihat menggunakan kain kuning yang dililitkan di leher. "Hari ini telah kita mengantar seorang senior kita, cucu Raja Aceh terakhir Sultan Daud Syah. Cucu perempuan yang meninggal di Mataram, ribuan kilometer dari Aceh, akhirnya sampai juga ke tanah kelahirannya," kata Gubernur dalam sambutannya.

"Hari ini saya selaku pimpinan Aceh dengan resmi melepas kepergian Tuanku Sultanah Putroe. Dan mari kita berdoa agar beliau senantiasa mendapat rahmat dan ridanya," jelasnya. Sultanah Putroe wafat pagi tadi sekitar pukul 06.45 Wita, Rabu (6/6/2018). Jenazah kemudian dipulangkan ke Aceh dan tiba di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar, sekitar pukul 21.00 WIB. Sultanah Teungku Putroe Safiatuddin Cahya Nur Cahya Nur Alam adalah anak Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Muhammad Daodsyah. Nama terakhir ini merupakan Sultan Aceh Darussalam yang terakhir, yang memimpin perang melawan Belanda.  Seperti diketahui, Sultanah Putroe Safiatuddin Cahya Nur selama ini menetap di Mataram, NTB, bersama keluarganya. Pada November 2017, dia diundang oleh Presiden Joko Widodo ke Istana Negara di Jakarta untuk menerima plakat dan piagam gelar Pahlawan Nasional atas nama almarhumah Laksamana Keumalahayati.  Piagam itu diserahkan langsung oleh Presiden Jokowi dalam satu upacara penganugerahan gelar pahlawan di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 9 November 2017.

Sebagaimana diberitakan portalsatu.com sebelumnya, Cahya Nur Alam merupakan cucu Sultan Aceh Darussalam yang terakhir, Sultan Muhammad Daud Syah. Rumah duka Jl.Kesra Raya No.124, Perumnas Tanjung Karang, Mataram, NTB. Namun, jenazah Sulthanah Teungku Putroe Sulthanah Safiatuddin Cahya Nur Alam binti Tuwanku Raja Ibrahim bin Sultan Muhammad Daud Syah dipulangkan ke Aceh untuk dimakamkan di samping ayahnya, Tuanku Raja Ibrahim, di Baperis.

Baperis (Badan Pembina Rumpun Iskandarmuda) merupakan kompleks makam Sultan Iskandar Muda, yang di sana ada makam Sultan Besar Sultan Mansur Syah. Berada di samping Museum Aceh, dan di sisi Meuligoe Gubernur Aceh.

Sebagaimana diketahui, Yang Mulia (YM) Sultanah Teungku Putroe Safiatuddin Cahya Nur Alam binti Tuwanku Ibrahim bin Sultan Muhammad Daodsyah. Sultan Muhammad Daodsyah merupakan sultan Aceh Darussalam yang terakhir, yang memimpin perang melawan Belanda.

Setelah puluhan tahun, beliau ditangkap dan ditawan dibuang ke Rawamangun, Jakarta. Makam Sultan Muhammad Daodsyah berada di Rawamangun, Jakarta Timur.[]Sumber:detik

Editor: THAYEB LOH ANGEN